Ilustrasi (Thinkstock)Ada
nasib malang yang harus dihadapi oleh warga yang tinggal di pinggiran
kota namun beraktivitas di tengah kota, yaitu kemacetan.
Di
Jakarta, misalnya. Bagi warga yang memiliki motor atau mobil
pribadi/dinas tentu tidak akan menghirup asap rokok penumpang lain,
berdesakan, menghadapi jadwal yang tidak tentu atau kecopetan seperti
yang sering dialami oleh para pengguna jasa angkutan umum.
Tetapi
pengguna motor atau mobil pribadi/dinas harus menghabiskan waktu
minimal dua sampai lima jam di jalanan setiap harinya, tak berbeda jauh
dengan waktu yang dihabiskan oleh pengguna angkutan umum. Ini berlaku
bagi mereka yang tinggal di kawasan Tangerang, Depok, Bekasi, Cibubur
atau Bogor.
Lelah, kesal, stres sampai menghabiskan ratusan ribu
hingga jutaan rupiah per bulan hanya untuk membeli bahan bakar adalah
ongkos tambahan yang harus dibayar pengguna kendaraan pribadi.
Padahal uang sebanyak itu akan sangat bermanfaat jika dikumpulkan untuk investasi pendidikan anak atau hari tua.
Kemudian
munculah beberapa kelompok pekerja urban yang mengenalkan moda
transportasi sepeda untuk berangkat dari tempat tinggal ke tempat kerja.
Niatnya
memang mulia, antara lain ingin membantu mengurangi kemacetan,
mempersingkat waktu tempuh dan agar tubuh lebih sehat. Selain itu,
bersepeda memang mengasyikkan. Tubuh bergerak, berkeringat dan dalam
waktu beberapa minggu kemudian berat badan bisa berkurang.
Lalu Anda pun merasa sudah sehat secara jasmani. Tapi apa benar bersepeda di kota yang berpolusi berat itu menyehatkan?
Menurut
situs USA Today, hasil penelitian membuktikan bahwa bersepeda – meski
sebentar – di tengah kemacetan mampu meningkatkan risiko gangguan
kesehatan lebih besar.
Artikel yang dirilis pada 9 September 2010
itu mengatakan, pesepeda akan menghirup gas beracun dua kali lebih
banyak dari para pengguna mobil karena orang yang bersepeda bernapas
lebih dalam dan lebih cepat.
Gas yang dihirup pesepeda masuk
melalui mulut atau hidung ke paru-paru lalu menyebar lewat darah.
Efeknya ialah kerusakan secara perlahan tapi pasti pada jantung dan
paru-paru.
Risiko yang lain ialah empat kali lebih besar
peluangnya untuk cedera atau meninggal dunia karena bersinggungan dengan
mobil, motor atau bus umum.
(Untuk kasus Jakarta, ancaman
terbesar ialah motor yang sering menyerobot masuk ke trotoar hingga
melawan arus, angkot sampai jenis mikro bus yang ugal-ugalan.)
Tapi tak perlu khawatir karena pada prinsipnya bersepeda itu baik untuk kesehatan.
Berikut
beberapa tips mengurangi resiko gangguan kesehatan akibat bersepeda di
tengah kemacetan, seperti yang dimuat di situs BBC pada 28 Januari 2011:
1. Pilihlah rute bersepeda yang banyak pohonnya.
2. Jangan terlalu sering bersepeda di belakang bus atau mobil yang mengeluarkan asap hitam pekat atau kendaraan bermesin diesel.
3.
Gunakan masker penutup mulut dan hidung seperti yang digunakan oleh
para dokter dan perawat di rumah sakit/klinik kesehatan. Dan masker itu
harus diganti tiap kali habis dipakai.
USA Today memberi saran, jika Anda ingin bersepeda yang sehat dan aman, pindahlah ke negeri Belanda.
Bagaimana tanggapan Anda?