Masuknya Agama Hindu di Bali
Berakhirnya zaman prasejarah di
Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi
sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh
dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya
keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah.
Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi
dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara
abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi
Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa
tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat
diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa
pada tahun 913
Masehi yang menyebutkan kata "Walidwipa". Demikian pula dari
prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti
prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Di antara raja-raja Bali, yang
banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang
susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana,
Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam
mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat.
Dalam prasasti tertua 882-914, badan ini disebut dengan istilah "panglapuan".
Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah
"pakiran-kiran i jro makabaihan". Badan ini beranggotakan beberapa
orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.
Di dalam prasasti-prasasti sebelum
Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu.
Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni
menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja
istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi
rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa
atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.
Dalam bidang agama, pengaruh zaman
prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada
zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan
dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan
berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang
batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini
terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak.
Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman
sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman
setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi
tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat
diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu
Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna.
Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah
agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua
aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama
Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan
adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali
dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa.
Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama
Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya. Penyerangan ini mengakibatkan
terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu.
Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis
menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit
menunjuk Sri Kresna Kepakisan
untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna
Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah
berawal wangsa Kepakisan.
Karena ketidakcakapan Raden Agra
Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir.
Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl'gɛl/).
Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan
raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong
(1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan
yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk
memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel)
mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan
oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel
adalah Dalem Di Made (1605—1686).
Kerajaan Klungkung
sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan
I Gusti Agung Maruti
ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra
Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel
tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas
takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat
baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di
Semarapura.
Dengan demikian, Dewa Agung Jambe
(1710-1775) merupakan raja pertama zaman
Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I,
sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II.
Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan
kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja
(berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.
- Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
- Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi.
- Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
- Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
- Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
- Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
- Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
- Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
- Kerajaan Denpasar,yang kemudian menjadi Kota Madya Denpasar
Pada periode ini mulai masuk
intervensi Belanda ke Bali dalam rangka "pasifikasi" terhadap seluruh
wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja membangkitkan
sentimen nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh administrasi
Batavia dicoba untuk dikuasai dan disatukan di bawah administrasi. Belanda
masuk ke Bali disebabkan beberapa hal: beberapa aturan kerajaan di Bali yang
dianggap mengganggu kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima
monopoli yang ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok
yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali).
Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap
kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan
meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut :
- Perang Buleleng (1846)
- Perang Jagaraga (1848--1849)
- Perang Kusamba (1849)
- Perang Banjar (1868)
- Puputan Badung (1906)
- Puputan Klungkung (1908)
Dengan kemenangan Belanda dalam
seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti
secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.
Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke
tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal
pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai
penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta
menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali.
Struktur pemerintahan di Bali masih
berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan
kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah.
Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi,
yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di
dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen
Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan,
raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga
administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang
pertama di Bali, yakni di Singaraja
(1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka
sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan
sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang
muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya.
Akibat pengaruh pendidikan yang
didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan
pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan
dengan nama "Suita Gama Tirta" yang bertujuan untuk memajukan
masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang
perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih haus
dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama
"Shanti" pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah
yang bernama "Shanti Adnyana" yang kemudian berubah menjadi
"Bali Adnyana".
Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah
perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah
yang diberi nama "Suryakanta". Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta
menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan
dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama
"Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok" yang anggotanya terdiri atas
pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan
uang untuk kepentingan studiefonds.
Setelah melalui beberapa
pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18
dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar
dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah
Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang
di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana
sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil.
Karena selama pendudukan Jepang
suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan
perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari
tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA
di Jawa.
Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat
pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke
desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan
susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil
dengan ibu kotanya Singaraja.
Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena
pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI menggunakan sistem gerilya.
Oleh karena itu, MBO
sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di
Bali, didatangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke
dalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak
Belanda pernah mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan
tetapi, pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan
dengan mengikutsertakan seluruh rakyat.
Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, Rai pernah mengambil siasat untuk
memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai
mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan
"Long March". Selama diadakan "Long March" itu pasukan gerilya
sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran.
Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah
Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung
Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli
1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan
Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan).
Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa
anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat.
Pada waktu staf MBO berada di desa
Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan.
Perintah itu dilaksanakan pada 18 November
1946
(malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat
direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan
Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November
1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap
Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak
antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu
pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu,
Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali
ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar.
Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad
tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai
mengadakan "Puputan" atau perang habis-habisan di desa margarana
sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah
Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda
ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada
tanggal 20 november 1946 di kenal dengan perang puputan margarana, dan kini
pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
Pada tanggal 7
sampai 24 Desember 1946, Konferensi Denpasar berlangsung di pendopo Bali Hotel. Konferensi itu dibuka
oleh Hubertus
Johannes van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota Makassar (Ujung Pandang).
Dengan terbentuknya Negara Indonesia
Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti pada zaman
raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang dibantu oleh patih,
punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah adalah kelian. Di samping
itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di atas raja, yaitu dewan
raja-raja.
Agresi militer yang pertama terhadap
pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta
dilancarakan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli
1947.
Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa
agresi yang kedua itu di Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan
perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada
Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat
Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, tanggal 27 November 1949, GRIM
menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan
Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) Sunda Kecil.
Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni
Indonesia - Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember
1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus
1950,
RIS
diubah menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Tetapi dilarang berkomentar menghina atau-pun spam, Terima kasih.